Tantangan Literasi Kampus Saat Ini: Antara Budaya Digital
pbhmi – Literasi merupakan fondasi dari peradaban intelektual di perguruan tinggi. Namun, literasi kampus di era sekarang menghadapi tantangan besar, terutama di tengah perkembangan teknologi digital, budaya instan, dan pola pikir pragmatis yang mulai mendominasi mahasiswa. Ironisnya, kampus yang seharusnya menjadi pusat intelektual dan budaya baca justru mengalami krisis literasi yang kian terasa.
Literasi kampus tak hanya soal kemampuan membaca dan menulis, tetapi mencakup kemampuan berpikir kritis, menyampaikan ide secara logis, dan menganalisis informasi secara mendalam. Artikel ini akan membahas tantangan-tantangan utama literasi kampus saat ini, serta mengapa kita perlu segera melakukan revitalisasi budaya literasi di lingkungan perguruan tinggi.
Keyword utama: tantangan kemelekan kampus
Keyword turunan: krisis literasi mahasiswa, budaya baca kampus, masalah literasi perguruan tinggi
1. Budaya Baca yang Melemah di Kalangan Mahasiswa
Salah satu tantangan paling nyata adalah menurunnya minat baca di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa hanya membaca jika terpaksa—misalnya saat ujian atau tugas. Buku-buku ilmiah, sastra, dan pemikiran kritis sering diabaikan karena dianggap berat dan tidak praktis.
Penyebab utama:
- Dominasi budaya visual dan konten cepat di media sosial
- Kurangnya kebiasaan membaca sejak sekolah dasar
- Kurikulum kampus yang terlalu teknis dan minim pendekatan humaniora
- Tidak adanya ruang kolektif untuk diskusi buku atau literasi alternatif
Dampaknya: Mahasiswa menjadi miskin kosakata, dangkal dalam argumen, dan tidak terbiasa berpikir reflektif.
2. Budaya Instan dan Mentalitas “Copy-Paste”
Tantangan kedua adalah mentalitas serba instan. Dengan akses internet yang mudah, banyak mahasiswa memilih jalur cepat tanpa melalui proses belajar yang utuh.
Gejala yang tampak:
- Plagiarisme meningkat, terutama dalam tugas makalah
- Mengandalkan ringkasan atau video singkat daripada membaca utuh
- Ketergantungan pada AI tanpa memahami kontennya secara kritis
- Tidak terbiasa merangkai ide sendiri secara orisinal
Literasi bukan sekadar menyalin informasi, tetapi membentuk pemahaman dan sikap terhadap pengetahuan.
3. Minimnya Fasilitas dan Ekosistem Pendukung Literasi
Banyak kampus belum membangun ekosistem literasi yang mendukung. Perpustakaan kurang update, klub literasi tidak aktif, dan ruang-ruang diskusi terbatas.
Fakta lapangan:
- Koleksi buku tidak mengikuti perkembangan zaman
- Ruang baca tidak nyaman atau tidak terbuka untuk diskusi
- Tidak ada insentif atau dukungan bagi mahasiswa yang menulis
Tanpa ekosistem yang mendukung, literasi akan sulit tumbuh, walaupun semangatnya ada.
4. Kurangnya Peran Dosen dan Institusi sebagai Role Model Literasi
Dosen dan pihak kampus seharusnya menjadi penggerak budaya literasi. Namun, banyak pengajar hanya menuntut mahasiswa menyelesaikan tugas, tanpa membimbing mereka dalam proses literasi yang sebenarnya.
Tantangan yang muncul:
- Dosen jarang merekomendasikan bacaan luar kurikulum
- Tidak semua dosen aktif menulis atau membaca
- Kampus tidak mengadakan program literasi secara berkelanjutan
Ketika mahasiswa tidak melihat contoh nyata dari dosen atau pimpinan kampus, mereka kehilangan teladan literasi.
5. Literasi Digital Belum Terintegrasi dengan Kritis
Di era digital, literasi tidak cukup hanya membaca dan menulis. Literasi digital menuntut mahasiswa untuk:
- Menilai kredibilitas informasi
- Menyaring hoaks dan opini tendensius
- Memahami konteks media sosial dan dampaknya terhadap opini publik
Namun kenyataannya, mahasiswa lebih sering terpapar informasi tanpa filter, dan menyebarkannya tanpa berpikir ulang.
Mahasiswa harus dibekali dengan kemampuan literasi digital yang kritis, bukan hanya teknis.
6. Kurangnya Penghargaan terhadap Aktivitas Literasi
Aktivitas literasi sering kali dianggap tidak produktif secara langsung. Mahasiswa lebih memilih kegiatan yang memberi sertifikat, uang saku, atau poin SKKM.
Akibatnya:
- Menulis opini atau puisi dianggap “tidak penting”
- Diskusi buku kalah pamor dengan seminar instan
- Literasi dianggap kegiatan tambahan, bukan inti dari kehidupan kampus
Kampus perlu menempatkan literasi sebagai kegiatan strategis, bukan hanya formalitas.
Literasi kampus hari ini sedang berada di titik kritis. Budaya instan, lemahnya minat baca, dan ekosistem yang belum mendukung menyebabkan mahasiswa kehilangan keterampilan berpikir, menulis, dan berdiskusi yang mendalam.
Namun, harapan belum hilang. Dengan langkah konkret dari mahasiswa, dosen, dan institusi kampus, budaya literasi dapat dihidupkan kembali — menjadi kekuatan utama dalam membentuk generasi intelektual Muslim yang cerdas, kritis, dan berakhlak.
Karena sejatinya, peradaban dibangun dari kata-kata. Dan kampus adalah tempat kata-kata itu seharusnya hidup, tumbuh, dan mencerahkan.