Konteks Sosial Budaya Penting dalam Kesehatan Mental

sosial budaya

pbhmi – Kesehatan mental kini menjadi isu yang semakin diperhatikan secara nasional, namun pemahaman dan pendekatannya belum merata ke seluruh wilayah Indonesia, terutama di komunitas adat dan daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Dalam konteks ini, penanganan kesehatan mental tidak cukup hanya dengan menyediakan layanan medis—dibutuhkan pemahaman yang dalam terhadap konteks sosial dan sosial budaya.

pbhmi

Banyak program intervensi gagal bukan karena kurangnya niat atau dana, melainkan karena mengabaikan realitas masyarakat setempat: bagaimana mereka berpikir, meyakini, dan menjalani hidup. Di banyak wilayah adat seperti Papua, pedalaman Kalimantan, dan perbukitan Nusa Tenggara, cara masyarakat memahami gangguan kejiwaan sangat berbeda dari masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, intervensi yang tidak selaras dengan sistem kepercayaan dan nilai lokal sering ditolak, diabaikan, atau malah menimbulkan konflik.

1. Kesehatan Mental dalam Perspektif Kolektif

Berbeda dengan pendekatan individualistik dalam dunia medis modern, masyarakat adat umumnya hidup dalam nilai-nilai kolektif. Artinya, kesejahteraan individu sangat erat kaitannya dengan keharmonisan sosial. Gangguan perilaku atau ekspresi emosional yang tidak biasa seringkali dianggap bukan sekadar masalah pribadi, tetapi ancaman terhadap keseimbangan komunitas.

Konsekuensinya, seseorang yang mengalami stres berat, depresi, atau gejala psikosis bisa dianggap sebagai:

  • Pembawa malapetaka,

  • Tanda bahwa ada pantangan adat yang dilanggar,

  • Bukti bahwa keluarga atau komunitas sedang “tidak bersih” secara spiritual.

Dalam masyarakat seperti ini, mengakui adanya masalah kejiwaan bisa dianggap mempermalukan kelompok, sehingga penderita cenderung menyembunyikan kondisinya atau “diisolasi” oleh komunitas.

2. Peran Sistem Kepercayaan Tradisional

Banyak komunitas adat masih memegang erat sistem kepercayaan animistik, dinamistik, atau sinkretis yang menggabungkan unsur spiritual dengan budaya lokal. Gangguan mental sering dikaitkan dengan:

  • Kutukan dari leluhur,

  • Kerasukan roh halus,

  • Akibat pelanggaran adat atau ritual yang tidak dilakukan dengan benar.

Karena itu, alih-alih dibawa ke puskesmas atau klinik, orang yang mengalami gangguan mental lebih sering:

  • Dirujuk ke dukun kampung atau pemuka adat,

  • Diobati dengan ritual penyucian, doa-doa, atau pengorbanan hewan,

  • Diisolasi atau dikurung jika dianggap berbahaya.

Meskipun sebagian metode ini bersifat non-medis, penting untuk diingat bahwa penolakan terhadap pendekatan medis sering terjadi bukan karena kebodohan, tapi karena keyakinan.

3. Struktur Sosial dan Peran Tokoh Adat

Di komunitas adat, struktur sosial budaya biasanya hierarkis dan berbasis pada pengalaman serta garis keturunan. Tokoh adat, kepala suku, atau tetua desa memiliki wewenang besar dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam hal kesehatan.

Jika tokoh adat tidak memahami atau tidak percaya pada penanganan kesehatan jiwa secara medis, maka:

  • Keluarga tidak akan berani membawa anggota mereka ke psikiater,

  • Intervensi luar dianggap mengganggu tatanan adat,

  • Pendampingan psikologis bisa gagal total karena tidak mendapat restu sosial.

Karena itu, melibatkan tokoh adat sejak tahap awal program kesehatan mental sangat penting untuk memastikan penerimaan dan kelancaran pelaksanaan di lapangan.

4. Bahasa dan Simbol yang Digunakan

Kebanyakan pendekatan kesehatan mental modern menggunakan istilah teknis seperti “depresi”, “ansietas”, atau “skizofrenia” yang tidak dikenal oleh masyarakat adat. Dalam banyak kasus, gejala psikologis justru lebih mudah dipahami lewat:

  • Cerita rakyat atau mitos,

  • Simbol alam (seperti “hutan yang marah” atau “air yang keruh” sebagai tanda ketidakseimbangan),

  • Bahasa lokal yang lebih menggambarkan kondisi emosional secara kiasan.

Oleh karena itu, komunikasi publik tentang kesehatan mental di daerah adat perlu disesuaikan secara bahasa dan narasi, agar tidak terasa asing atau mengancam nilai budaya mereka.

5. Menjembatani Budaya dan Medis: Jalan Tengah yang Diperlukan

Agar program kesehatan mental berhasil di komunitas adat dan terpencil, diperlukan pendekatan interkultural dan kolaboratif. Beberapa strategi yang efektif meliputi:

  • Pelatihan kader lokal yang memahami budaya dan bisa menjadi jembatan ke layanan medis.

  • Pendekatan dualistik, di mana ritual adat tetap dijalankan sambil juga menerima pendampingan psikologis.

  • Pendidikan tokoh adat dan agama mengenai kesehatan jiwa sebagai kondisi medis yang bisa ditangani.

Dengan cara ini, intervensi medis tidak akan dianggap mengancam, tapi justru memperkuat keharmonisan dan kelangsungan hidup komunitas.

Kesehatan mental bukan hanya soal intervensi klinis. Di komunitas adat dan daerah 3T, ia adalah soal kepercayaan, struktur sosial budaya, dan nilai hidup bersama. Jika pendekatan kesehatan jiwa tidak disesuaikan dengan konteks budaya lokal, maka bukan hanya gagal menjangkau—tapi juga bisa memperdalam stigma yang ada.

Untuk itu, diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi, partisipatif, dan menghargai budaya. Kesehatan mental yang inklusif hanya bisa dicapai jika kita mau mendengar, belajar, dan berjalan bersama masyarakat yang selama ini sering diabaikan.