Era Reformasi: Mahasiswa Sebagai Penjaga Demokrasi
pbhmi – Reformasi 1998 bukan hanya momen politik. Ia adalah titik balik sejarah yang membuka pintu demokrasi Indonesia setelah lebih dari tiga dekade terkunci dalam rezim otoriter Orde Baru. Gerakan ini digerakkan oleh berbagai elemen, namun mahasiswa menjadi aktor utama yang memobilisasi massa, menggugah kesadaran publik, dan mendesak perubahan struktur kekuasaan secara damai.
Hingga hari ini, era Reformasi masih terus berlangsung. Demokrasi Indonesia telah berkembang secara prosedural—pemilu dilaksanakan secara reguler, kebebasan pers meningkat, dan partisipasi sipil lebih terbuka. Namun di saat yang sama, muncul pula tantangan-tantangan baru: polarisasi politik, korupsi struktural, disinformasi, serta kemunduran nilai-nilai demokratis.
Dalam konteks ini, mahasiswa kembali dihadapkan pada tanggung jawab sejarah: menjadi penjaga demokrasi.
Mahasiswa dan Lahirnya Reformasi
Peran mahasiswa dalam menjatuhkan rezim Soeharto menjadi bukti kekuatan moral dan sosial mereka. Sepanjang tahun 1998, ribuan mahasiswa turun ke jalan menuntut:
- Turunnya Soeharto,
- Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),
- Reformasi hukum, ekonomi, dan politik,
- Supremasi sipil atas militer.
Kampus-kampus besar seperti Universitas Indonesia, UGM, ITB, Unair, dan lainnya menjadi titik pusat gelombang protes nasional. Tragedi Trisakti dan Semanggi menjadi simbol keberanian dan pengorbanan mahasiswa untuk demokrasi.
Perjuangan tersebut membuahkan hasil: Soeharto mundur, sistem multipartai diperkenalkan, dan amandemen UUD 1945 dilakukan untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi.
Demokrasi Pasca-Reformasi: Progres dan Masalah
Dua puluh tahun lebih setelah Reformasi, Indonesia telah mengalami kemajuan demokratis:
- Pemilihan umum yang bebas dan kompetitif,
- Keterlibatan aktif masyarakat sipil,
- Mekanisme checks and balances yang lebih terbuka,
- Kelahiran lembaga independen seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi.
Namun, demokrasi juga menghadapi tantangan serius:
- Pragmatisme dan politik uang dalam pemilu,
- Pelemahan lembaga antikorupsi,
- Represi terhadap kebebasan berekspresi,
- Polarisasi sosial akibat politik identitas,
- Kuatnya oligarki dalam pengambilan kebijakan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa demokrasi bisa mundur jika tidak dijaga. Maka, peran mahasiswa menjadi krusial bukan hanya sebagai penggerak, tetapi sebagai penjaga nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Mahasiswa sebagai Penjaga Demokrasi: Apa Saja Perannya?
1. Menjadi Pengawas Kekuasaan (Watchdog)
Mahasiswa memiliki kebebasan intelektual dan kekuatan moral untuk mengkritisi kekuasaan tanpa kepentingan politik praktis. Mereka dapat:
- Melakukan advokasi kebijakan publik,
- Menggelar kajian dan diskusi isu-isu kebijakan,
- Membongkar praktik korupsi dan pelanggaran HAM,
- Menggalang solidaritas untuk isu-isu masyarakat sipil.
2. Menghidupkan Budaya Kritik dan Demokrasi di Kampus
Kampus harus menjadi ruang latihan demokrasi: tempat di mana kebebasan berpikir, berdebat, dan berserikat dihargai. Mahasiswa bisa:
- Mengelola forum-forum ilmiah,
- Menulis di media kampus dan media sosial,
- Membangun organisasi mahasiswa yang demokratis dan inklusif.
3. Menyuarakan Kelompok yang Terpinggirkan
Dalam sistem politik yang sering dikendalikan elite, suara masyarakat adat, perempuan, difabel, dan kelompok minoritas sering tidak terdengar. Mahasiswa dapat menjadi:
- Juru bicara yang memperjuangkan keadilan sosial,
- Jembatan antara kelompok marginal dan pembuat kebijakan.
4. Mendorong Literasi Politik dan Anti-hoaks
Di era digital, banyak orang terjebak dalam disinformasi dan polarisasi. Mahasiswa dapat menyebarkan informasi politik yang objektif dan kritis melalui:
- Kampanye media sosial,
- Konten edukatif berbasis data,
- Diskusi publik yang membumi.
Tantangan Mahasiswa di Era Reformasi
Meski memiliki potensi besar, mahasiswa juga menghadapi sejumlah tantangan:
- Komersialisasi pendidikan membuat kampus semakin jauh dari semangat kritis,
- Politisasi organisasi mahasiswa oleh elite luar kampus,
- Stigmatisasi aktivisme sebagai gangguan, bukan bagian dari proses belajar,
- Apatisme di kalangan mahasiswa sendiri akibat kejenuhan politik.
Menghadapi ini, mahasiswa perlu membangun kembali solidaritas lintas kampus, menjunjung etika gerakan, dan menjaga independensi gerakannya.
Demokrasi Perlu Mahasiswa yang Aktif dan Kritis
Era Reformasi membuka peluang besar bagi demokrasi, tapi juga menyimpan ancaman regresi. Jika mahasiswa berhenti bersuara, ruang publik bisa kembali dikuasai oleh kepentingan sempit dan kekuasaan absolut.
Mahasiswa bukan hanya aktor masa lalu reformasi, tapi juga penentu arah masa depan demokrasi. Melalui pendidikan politik, advokasi, dan gerakan intelektual, mahasiswa bisa menjaga agar demokrasi Indonesia tetap berpihak pada rakyat—bukan hanya pada elite.
Sebagaimana Reformasi 1998 membuktikan, ketika mahasiswa bergerak dengan moral, ilmu, dan solidaritas, perubahan bukan hanya mungkin, tapi tak terelakkan.