Dampak Minimnya Pendidikan Politik terhadap Demokrasi

dampak minimnya pendidikan politik

pbhmi – Demokrasi bukan hanya sistem pemilu. Ia adalah cara hidup bernegara yang bertumpu pada partisipasi aktif warga, pengawasan terhadap kekuasaan, penghormatan terhadap hak asasi, serta kesetaraan dalam pengambilan keputusan publik. Namun, semua itu hanya mungkin terwujud jika masyarakat memahami peran mereka sebagai warga negara. Di sinilah pentingnya pendidikan politik dan kita akan membahas tentang dampak minimnya pendidikan politik.

Sayangnya, di banyak negara demokrasi berkembang—termasuk Indonesia—pendidikan politik masih minim, terutama di tingkat akar rumput. Ini berakibat langsung pada kualitas demokrasi yang rapuh: masyarakat cenderung pasif, mudah dimanipulasi, dan tidak merasa memiliki ruang politik sebagai bagian dari hak mereka. Artikel ini membahas dampak serius dari minimnya pendidikan politik terhadap proses dan substansi demokrasi.

pbhmi

1. Rendahnya Partisipasi Politik Masyarakat

Partisipasi politik adalah nyawa demokrasi. Namun tanpa pendidikan politik, partisipasi masyarakat cenderung:

  • Hanya terjadi saat pemilu (dan sering kali karena iming-iming materi),

  • Tidak didasarkan pada pemahaman terhadap isu dan kebijakan,

  • Bersifat seremonial, bukan substantif.

Contohnya, banyak pemilih hanya memilih berdasarkan popularitas atau tekanan sosial, bukan karena visi atau rekam jejak calon. Akibatnya, kualitas kepemimpinan yang dihasilkan menjadi rendah, dan rakyat kehilangan kontrol atas kebijakan publik.

2. Meningkatnya Kerentanan terhadap Manipulasi Politik

Warga yang tidak terdidik secara politik lebih mudah menjadi korban dari:

  • Politik uang,

  • Hoaks dan disinformasi,

  • Politik identitas dan polarisasi berbasis SARA,

  • Eksploitasi emosi tanpa logika kebijakan.

Dampak minimnya pendidikan politik politik membuat warga tidak memiliki filter kritis saat menerima informasi politik. Mereka lebih mudah digiring opini, terjebak dalam konflik horizontal, atau dimanfaatkan elite untuk kepentingan sempit.

Contoh nyata adalah penyebaran hoaks saat pemilu yang menimbulkan ketegangan antarkelompok, bahkan di tingkat keluarga atau RT.

3. Apatisme dan Ketidakpedulian terhadap Urusan Publik

Tanpa pemahaman tentang bagaimana sistem politik bekerja, masyarakat cenderung menganggap bahwa:

  • Politik itu urusan elit,

  • Suara mereka tidak berdampak,

  • Keterlibatan dalam forum publik itu buang-buang waktu.

Apatisme ini membahayakan karena menciptakan ruang kosong yang bisa diisi oleh kelompok-kelompok oportunis. Demokrasi yang sehat justru membutuhkan warga yang terlibat, kritis, dan konsisten mengawal jalannya pemerintahan.

4. Lemahnya Budaya Kritis dan Diskusi Sehat

Pendidikan politik seharusnya menumbuhkan budaya dialog, toleransi, dan argumentasi rasional. Tapi ketika pendidikan politik minim:

  • Ruang publik dipenuhi debat emosional dan saling serang,

  • Perbedaan pendapat dianggap permusuhan,

  • Tidak ada ruang diskusi sehat tentang ide atau program.

Akibatnya, demokrasi kehilangan esensinya sebagai ruang deliberasi bersama. Yang tersisa hanyalah polarisasi, saling benci, dan kebuntuan politik.

5. Rendahnya Akuntabilitas dan Pengawasan terhadap Kekuasaan

Tanpa pendidikan politik, warga tidak sadar bahwa mereka memiliki hak untuk:

  • Mempertanyakan kebijakan pemerintah,

  • Mengkritik kinerja wakil rakyat,

  • Meminta transparansi anggaran,

  • Mengorganisir aksi damai jika terjadi ketidakadilan.

Jika warga tidak tahu atau tidak peduli, kekuasaan akan melenggang tanpa kontrol. Inilah yang membuat korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan kekuasaan tumbuh subur di banyak daerah.

6. Gagalnya Demokrasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan

Demokrasi seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Tapi ketika pendidikan politik minim:

  • Rakyat tidak tahu bagaimana memperjuangkan hak sosial-ekonomi mereka,

  • Tidak tahu bagaimana menyampaikan aspirasi lewat saluran yang benar,

  • Tidak bisa membedakan janji populis dengan kebijakan strategis.

Akibatnya, mereka terus memilih pemimpin yang tidak kompeten atau tidak berpihak, dan siklus kemiskinan serta ketimpangan terus berulang.

7. Terhambatnya Lahirnya Pemimpin Berkualitas

Pendidikan politik bukan hanya untuk pemilih, tapi juga untuk melahirkan pemimpin yang berpihak pada rakyat dan demokrasi. Tanpa proses pendidikan politik, generasi muda:

  • Tidak tertarik terlibat dalam urusan publik,

  • Tidak memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin yang cerdas dan berintegritas,

  • Menyerahkan politik kepada segelintir elite yang tidak mewakili kepentingan rakyat.

Solusi: Pendidikan Politik sebagai Kebutuhan Mendesak

Untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, pendidikan politik harus:

  • Diberikan sejak sekolah dalam pelajaran kewarganegaraan yang aplikatif,

  • Didorong melalui media sosial dan konten kreatif yang membumi,

  • Diselenggarakan di desa-desa, kampus, tempat ibadah, dan ruang publik lainnya,

  • Melibatkan tokoh masyarakat, LSM, kampus, dan pemerintah secara kolaboratif.

Pendidikan politik bukan doktrin, tapi proses pencerdasan warga. Ketika warga sadar dan paham, mereka akan menjadi penentu arah demokrasi—bukan sekadar pengikut.

Minimnya pendidikan politik adalah ancaman nyata bagi demokrasi. Ia melemahkan partisipasi, menumbuhkan apatisme, dan membuka ruang bagi manipulasi kekuasaan. Tanpa warga yang sadar politik, demokrasi hanyalah prosedur formal tanpa substansi.

Untuk itu, pendidikan politik harus menjadi prioritas dalam pembangunan politik nasional. Karena demokrasi hanya bisa tumbuh di tanah yang dipupuk oleh pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi.