Tantangan Eksistensi Sastra di Kampus Saat Ini

kampus

pbhmi – Sastra mahasiswa dulu menjadi jantung kehidupan intelektual kampus. Ia hadir dalam buletin Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), dibacakan dalam forum diskusi, hingga menjadi bagian dari orasi di mimbar bebas. Namun hari ini, eksistensi sastra di kampus mulai tergerus. Ruang-ruang sastra menyempit, minat mahasiswa menurun, dan perhatian institusi akademik makin minim terhadap pengembangan literasi kritis yang humanis.

Padahal, sastra bukan sekadar seni menulis. Sastra adalah alat berpikir, sarana refleksi, dan bagian tak terpisahkan dari peradaban kampus yang sehat. Lalu, apa saja tantangan yang menyebabkan sastra di kampus kehilangan ruangnya?

pbhmi

1. Minimnya Dukungan Institusional terhadap Kegiatan Sastra

Salah satu tantangan utama yang dihadapi sastra kampus adalah kurangnya dukungan dari pihak kampus. Banyak kegiatan literasi dan sastra yang berjalan secara mandiri, tanpa fasilitasi ruang, dana, atau pengakuan dari birokrasi akademik.

Masalah yang sering muncul:

  • Tidak ada anggaran rutin untuk kegiatan sastra atau literasi mahasiswa.

  • Komunitas sastra tidak diakui sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) resmi.

  • Kegiatan seperti pelatihan menulis, baca puisi, atau diskusi karya dipandang “tidak produktif”.

Padahal, kegiatan sastra bukan sekadar hiburan, melainkan pengasah daya pikir dan nalar kritis mahasiswa. Jika kampus benar-benar mendukung pendidikan holistik, maka literasi sastra seharusnya menjadi bagian dari kurikulum kultural kampus.

2. Perubahan Gaya Konsumsi Informasi Mahasiswa

Mahasiswa zaman sekarang tumbuh di era media sosial, di mana informasi bersifat cepat, singkat, dan visual. Sementara sastra membutuhkan waktu untuk direnungkan, dibaca perlahan, dan dicerna secara emosional maupun intelektual.

Akibatnya:

  • Mahasiswa lebih menyukai konten video singkat, meme, atau thread Twitter ketimbang puisi atau cerpen.

  • Banyak yang menganggap membaca sastra adalah “aktivitas berat” yang tidak praktis.

  • Budaya instan merusak minat terhadap kegiatan reflektif seperti membaca dan menulis sastra.

Ini bukan berarti mahasiswa tak bisa menyukai sastra, tetapi sastra harus mampu beradaptasi dengan gaya konsumsi baru—misalnya lewat micro poetry di Instagram, podcast pembacaan cerpen, atau puisi visual dalam bentuk reel.

3. Ruang Publikasi Sastra Kampus yang Menyempit

Dulu, hampir setiap kampus memiliki buletin, majalah kampus, atau mading yang menjadi tempat mahasiswa mengekspresikan pikiran dalam bentuk tulisan. Sekarang, banyak media kampus yang tidak lagi rutin terbit, atau hanya fokus pada laporan kegiatan dan berita institusi.

Dampaknya:

  • Mahasiswa kehilangan wadah menulis dan menyampaikan opini

  • Karya sastra tidak terdokumentasi dan cepat hilang

  • Tidak ada sistem apresiasi yang membuat mahasiswa termotivasi menulis

Padahal publikasi adalah bagian penting dari pengembangan literasi. Tanpa ruang dokumentasi, sastra mahasiswa tidak hanya kehilangan audiens—tetapi juga kehilangan sejarah.

4. Kurangnya Regenerasi dalam Komunitas Sastra Mahasiswa

Komunitas sastra kampus banyak yang bubar setelah angkatan penggagasnya lulus. Ini disebabkan oleh kurangnya sistem kaderisasi dan regenerasi yang kuat.

Penyebab utamanya:

  • Tidak adanya struktur organisasi yang berkelanjutan

  • Kegiatan komunitas terlalu bergantung pada satu-dua orang

  • Tidak ada program kerja jangka panjang

Akibatnya, minat terhadap sastra di kampus tidak menular ke angkatan berikutnya. Komunitas pun redup dan akhirnya mati suri.

5. Stigma Negatif Terhadap Aktivis Sastra

Di beberapa lingkungan kampus, mahasiswa yang aktif menulis puisi atau esai kadang dianggap “berpikir terlalu rumit” atau “tidak realistis”. Sastra distereotipkan sebagai aktivitas kaum idealis yang tidak memberi dampak nyata.

Padahal:

  • Sastra mendorong mahasiswa berpikir kritis, etis, dan reflektif.

  • Banyak tokoh perubahan sosial lahir dari tradisi sastra kampus.

  • Aktivisme sastra menghasilkan pemimpin pemuda yang humanis.

Sastra bukan soal menjadi penyair hebat, tapi soal keberanian menyuarakan nurani.

6. Tantangan Kurikulum Pendidikan yang Semakin Teknis

Pendidikan tinggi saat ini lebih berorientasi pada output keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan industri. Ini membuat ilmu humaniora—termasuk sastra—tidak lagi diprioritaskan.

Akibatnya:

  • Mahasiswa jurusan teknik, sains, dan bisnis merasa sastra “bukan bagian dari jalur mereka”.

  • Tidak ada mata kuliah lintas disiplin yang mempertemukan logika dan estetika.

Padahal, dunia kerja justru membutuhkan SDM yang tidak hanya cerdas secara teknis, tapi juga punya empati, kemampuan komunikasi, dan daya pikir kritis—semua itu bisa dibangun lewat literasi sastra.

Saatnya Sastra Kembali ke Jantung Budaya Kampus

Sastra mahasiswa menghadapi tantangan besar, tetapi bukan berarti tidak bisa bangkit. Justru di tengah tekanan akademik dan degradasi budaya kritis, kehadiran sastra menjadi semakin penting sebagai ruang alternatif berpikir, merasa, dan membentuk karakter mahasiswa yang utuh.

📣 Diperlukan upaya kolektif dari mahasiswa, dosen, dan institusi kampus untuk:

  • Menghidupkan kembali ruang sastra

  • Mengintegrasikan sastra ke dalam kegiatan akademik

  • Membangun ekosistem literasi kampus yang berkelanjutan

Karena sastra bukan milik segelintir orang. Sastra adalah cermin kampus yang berpikir, merasa, dan berani bersuara.