Kenapa Sastra Mahasiswa Tetap Relevan dalam Dunia Akademik?
pbhmi – Di tengah era serba cepat dan digital, dunia akademik tampak semakin teknokratis. Perkuliahan menjadi fokus pada capaian kompetensi dan output, sedangkan kegiatan non-formal yang bersifat reflektif dan ekspresif mulai terpinggirkan. Namun, di antara tekanan akademik yang kian pragmatis, sastra mahasiswa masih bertahan—sebagai napas budaya kampus, cermin intelektual, dan ruang ekspresi personal yang kritis.
Pertanyaannya: mengapa sastra mahasiswa tetap relevan di tengah tuntutan zaman?
1. Sastra Mahasiswa Membentuk Cara Pandang Kritis terhadap Dunia
Mahasiswa adalah generasi intelektual yang tidak hanya belajar menghafal dan menjawab soal, tapi juga bertugas mempertanyakan dan merenungkan. Sastra menjadi sarana untuk melatih cara berpikir seperti itu.
Lewat puisi, esai, atau cerpen, mahasiswa belajar:
- Membedah isu sosial secara mendalam
- Menyampaikan gagasan secara etis dan estetis
- Mengembangkan empati terhadap kelompok yang terpinggirkan
Dalam konteks dunia akademik, keterampilan ini sangat penting karena memperkuat aspek humanistik dalam pendidikan tinggi—yang sering hilang dalam kurikulum teknis dan eksak.
2. Sarana Ekspresi Mahasiswa dalam Menghadapi Tekanan Akademik
Beban kuliah, tekanan sosial, dan keresahan masa depan adalah realitas yang dihadapi mahasiswa hari ini. Tak semua keresahan itu bisa diceritakan dalam ruang kelas. Sastra hadir sebagai katarsis, cara sehat untuk mengekspresikan emosi yang terpendam.
Contoh ekspresi melalui sastra:
- Puisi tentang kekecewaan terhadap sistem pendidikan
- Cerpen bertema kecemasan akan dunia kerja
- Esai tentang krisis identitas di usia 20-an
Menulis menjadi cara yang elegan dan berdampak untuk meluapkan perasaan. Di sinilah sastra memainkan fungsi psikologis dan sosiologis yang tak tergantikan.
3. Sastra Merawat Budaya Literasi dan Diskusi Intelektual
Dalam dunia akademik, literasi bukan sekadar membaca textbook atau jurnal ilmiah. Literasi sejati adalah kemampuan untuk menganalisis, merefleksikan, dan menyampaikan gagasan secara kritis.
Sastra mahasiswa menjadi penggerak budaya literasi kampus melalui:
- Komunitas menulis dan diskusi esai
- Lomba puisi dan cerpen antar-fakultas
- Kolaborasi antara dosen dan mahasiswa dalam kajian sastra
Kehadiran rubrik sastra di buletin kampus atau media digital mahasiswa mendorong munculnya ruang dialog, bukan hanya satu arah dari dosen ke mahasiswa.
4. Medium Kritik Sosial dan Etika Akademik
Salah satu kekuatan sastra mahasiswa adalah keberaniannya menyuarakan hal-hal yang jarang dibicarakan secara terbuka di ruang akademik. Lewat sastra, mahasiswa bisa menyampaikan kritik secara elegan dan bermakna.
Contoh tema kritik dalam karya sastra kampus:
- Komersialisasi pendidikan
- Birokrasi kampus yang tidak pro mahasiswa
- Ketimpangan akses beasiswa dan fasilitas
- Etika dosen–mahasiswa yang problematik
Sastra memungkinkan mahasiswa menjadi agen moral kampus tanpa harus terlibat konflik langsung. Kritik yang dikemas dalam puisi atau esai cenderung lebih disimak dan diingat.
5. Tetap Relevan di Era Digital melalui Adaptasi Kreatif
Banyak yang beranggapan bahwa sastra kalah saing di era konten visual seperti TikTok, Instagram, atau YouTube. Namun faktanya, banyak komunitas sastra mahasiswa kini justru berkembang di ruang digital.
Contoh adaptasi sastra di era digital:
- Instagram Poetry (Puisi Visual): paduan kata dan desain menarik
- Podcast Cerita Kampus: bacaan cerpen atau esai disiarkan rutin
- Open Mic Virtual: pembacaan puisi daring melalui Zoom atau IG Live
- E-book Antologi Mahasiswa: dikompilasi dan dibagikan gratis via link
Sastra tetap hidup bukan karena platformnya, tapi karena relevansinya terhadap kehidupan nyata mahasiswa.
Menjaga Sastra, Merawat Intelektualitas Kampus
Sastra mahasiswa bukan sekadar hobi, melainkan bagian dari proses pembentukan karakter dan intelektualitas. Ia menyentuh sisi humanis dari pendidikan tinggi—yang kerap terpinggirkan oleh nilai, angka, dan prestasi formal.
Relevansi sastra di dunia akademik bukan soal masa lalu, tapi soal masa depan. Kampus yang memberi ruang pada sastra adalah kampus yang sadar akan pentingnya ekspresi, pemikiran kritis, dan empati sosial.
Maka, mari kita jaga sastra tetap hidup di lingkungan akademik. Tidak perlu menjadi penyair besar—cukup dengan mulai menulis dan berbagi suara kita.